Lang sakit. Berita itu membuatku tak berpikir dua kali untuk menemuinya. Kenangan masa lalu dengannya kutepis, mencoba mengurut dada, menyabarkan hati!
Sakit? Tapi apa yang membuatnya sakit? Kutahu betul, Lang begitu peduli dengan kesehatan. Bangun pagi, yang pertama dicarinya adalah segelas dan putih, selanjutnya berjemur di matahari pagi dan lari-lari kecil sekitar 20 menit. Belum lagi, vitamin C dengan sekian miligram, dikonsumsinya tiap hari. Atau jangan-jangan dia memperalatku, agar aku mau menemuinya lalu menyakitiku lagi. Karena juga, kutahu betul dia menyimpan dendam untukku meski bibirnya selalu bertutur akan memaafkanku atas kesalahanku di masa silam.
Akh! Aku mendesah. Tiba di teras rumah sakit, keraguan menyerangku tiba-tiba. Berpikir hingga seribu kali! Kantong plastik berisi apel dan anggur, kuletakkan di bangku yang memanjang di ruang antri.
"Apa pedulimu dengan Lang, kamu bukan pacarnya ataupun siapa-siapanya?" desah batinku. Desah itu, bukan tak mungkin akan diungkapkan kepadaku.
Re, pertemuan terakhirku dengan gadis itu sungguh membuat luka. Bukan hanya aku yang dibuatnya membisu, tapi juga Lang yang tangannya masih berpegang di telapakku.
"Mey?
Saat itu dia menyebut namaku sambil memelototkan mata ke arah tanganku yang masih tergenggam oleh Lang. Aku tahu apa yang ada di kepalanya melihat Lang berhasil menundukkan hatiku untuk jadi pacarnya.
"Lang?"
Nama Lang yang disebutnya lagi. Masih dengan mata melotot. Dan yang membuatku tak mengerti sekaligus terluka saat dia meraih tangan Lang. Memisahkannya dari tanganku yang tak bisa berbuat apa-apa.
"Di mana otak kamu, Lang? Apa kamu nggak ingat saat Mey, gadis sombong lagi congkak ini, menolak cintamu dengan alasan kamu nggak pantas buatnya. Kamu boleh nggak punya apa-apa, miskin! Tapi sebagai cowok kamu harus punya harga diri."
Lang terdiam. Mungkin membenarkan kalimat Re. Aku pun terdiam, juga tak menyalahkan kalimat yang baru saja mengirisku.
Dosaku di masa lalu memang tak pantas untuk mendamping Lang. Aku pun tak mengerti, mengapa harta membutakan mataku di masa lalu. Lang juga Re nggak pernah kulirik. Bahkan buat Lang, aku pernah meludah saat berpapasan dengannya. Semua karena aku merasa ia tak selevel denganku, lalu dengan beraninya dia melayangkan surat cinta untukku.
Jika dari dulu kusadar bahwa roda nasib berputar, aku tak akan rnembedakan Re miskin dengan Fivi borju untuk kujadikan teman. Cinta Lang pun tak akan kutolak dengan balasan cibiran bahkan dengan membuang ludah.
Meskipun Re dan Lang masih setia dengan beasiswa di sekolah untuk kategori siswa tak mampu, roda nasib juga telah rnenggilasku, berputar dan melemparkanku jauh d! bawah level Re dan Lang.
Perusahaan Mama bangkrut. Rumah dan semua kekayaan disegel, Papa terbukti korupsi; Mama sakit, Papa masuk penjara. Pembantu yang sering kulempari pakaian kator,saat terlambat mencucinya, hanya bisa tersenyum sinis untukku sebelum angkat kaki dari rumah. Seolah senyum itu adalah kalimat ironr yang harus kuterjemahkan dengan kalimat,
"Rasain!”
"Atau kamu menggandeng Mey seperti ini untuk membaias sakit hatimu? Saat dia ' mencintaimu, tak bisa jauh darimu, kamu pun menghilang? Kalau itu alasanmu mencintainya, aku setuju!”
Giliran mataku yang melotot, tapi ke arah Lang. Mencoba mencari jawaban dari tatapannya yang masih redup. Dia masih bisu, dan itu kuanggap sebagai jawaban dari pertanyaan Re barusan. Ya, dia mencintaiku untuk membalas dendamnya.
Aku menjauh, melarikan semua kekecewaan yang melumuti dinding hatiku yang kini lembab oleh tampungan Dan mataku. Ya, aku tak ingin meneteskan ir mata, tangis itu kusimpan di hati, karena kutahu, semua ini adalah buah karma yang harus kukecap dari kesombongan yang kusemai di masa lalu. “May?”
Aku berbalik karena tersentak ketika seseorang menyebut namaku. Hatiku ikut tersentak, seperti terbentak, ketika mataku menangkap sosok Lang duduk di atas kursi roda.
Lang menatapku tajam. Tanpa henti! Degup jantungku menghentak-hentak! Apa yang akan terjadi selanjutnya, tak bisa kubayangkan perihnya. Karena Re, kulihat berjalan dari arah apotek rumah sakit.
"Kamu mencariku, mau membesukku?" Tatapan tajam itu berubah redup, tapi tetap mengiris perasaanku. Tak tahu kenapa, mengapa Lang begitu maskulin, bersih dan berwibawa di mataku kini, padahal dia sudah duduk di atas kursi roda. Mengapa mataku tak melihat semua kebihan itu saat dia masih sehat, saat semua orang masih menganggapku sebagai ratu karena harta yang selalu kubangga-banggakan. Mengapa baru sekarang? Mungkin Tuhan mau menyadarkanku bahwa manusia tak bisa dibedakan hanya karena harta atau apapun. Kuyakin itu jawabnya!
"Maaf jika kemarin aku melukaimu?" Lang berucap lagi.
Maaf? Sebenamya sudah impas, akupun punya salah, yang susah untuk dimaafkan.
"Tapi kemarin aku mencintaimu, tak pernah berniat untuk membalas dendam. Tidak pernah, Mey! Aku malah berpikir jika kemiskinanmu adalah jalan bagi Tuhan untuk rnenyatukan kita, tapi ternyata..."
Kalimatnya terpotong saat menyadari Re telah hadir di belakang kursi rodanya dan hendak membawanya pergi. Aku masih terdiam, menunggu Re bicara padaku, kalimat sepahit apa pun.
"Terima kasih kamu mau membesuk, Lang!"
Aku tersenyum gugup mendengar alimat Re yang biasa-biasa saja, tidak menusuk!
"Sakit apa?" Entah untuk basa-basi apa, yang jelas kalimat itulah yang akhirnya bisa kuucapkan.
Tak ada jawaban. Hanya mata Re dan Lang yang menatap turun ke arah kak Lang yang masih terbalut perban putit "Kecelakaan?" ucapku lagi.
Re hanya mengangguk. Lang berge ming, sedikit pun tak bergerak. Cuma setetes dan mata yang terjatuh. Cdanan bening itu melambangkan sedih yang teramat sangat.
Re mendorong kursi roda Lang tanF pamit padaku. Lang pun tak mengalihl tatapan kosongnya ke depan. Aku mendekati.
"Re, aku minta maaf dengan sikapk dulu. Juga buat kamu, Lang!" ucapku berhasil menghentikan gerak kursi rodanya.
Apel dan anggur yang tadi kubawa, kuserahkan tanpa kata pada Re. "Terima kasih!"
Apel dan anggur itu juga mengingai Re jika ada yang tertinggal di kamar perawatan Lang. Tatapannya seolah menitipkan Lang sebentar untukku.
"Mey, kamu percaya bahwa aku ngg pernah menyimpan dendam untukmu, sekecil apa pun?" ungkap Lang saat merasa Re tak ada lagi di dekatnya.
Aku melangkah ke depannya, mena nya tajam lalu mengangguk. Ketulusa Lang menerimaku meski telah menya nya dulu, membuat sesal semakin bet menderaku. Mengapa aku tak pemah mendengar ucapannya atau sekedar melirik langkahnya dulu? Jika kutahu seperti ini, aku lebih memilih tak punya apa-apa, miskin sejak lahir, agar aku mengenal semua orang tidak dengan pakaian yang dipakainya. Tapi sekarang aku berjanji, tak akan melihat wujud Lang, meski dia cacat.
"Kamu juga percaya bahwa aku mencintaimu hingga kini?" tanya Lang lagi. Kali ini begitu berat.
"Aku percaya, Lang. Aku pun...:' "Sayang sekali aku tak sempurna lagi. Entah sampai kapan aku harus duduk di kursi roda ini”
"Tidak Lang, aku..."
Lang menggeleng, tanpa menatapku. "Kamu nggak percaya bahwa aku bisa menerimamu apa adanya? Kamu yakin aku masih sejahat dulu, membedakan orang karena status sosial?"
Lang menggeleng lagi. "Memang kita berbeda, Mey!"
`Tidak, Lang!" aku setengah membentak.
"Kamu boleh beranggapan kita sama, tapi keadaan tetap membedakan kita, iagipula..."
Kalimat Lang terpotong. Re datang dan mengambil Lang dariku. Aku mencoba mengikuti, paling tidak meyakinkan Lang bahwa aku tak mempermasalahkan kondisi fisiknya kini.
"Mey!" Re yang bicara. "Kutahu kamu mencintai Lang, tapi ijinkan Lang memilihku meski kutahu Lang mencintaimu.°
Aku terdiam, juga berhenti melangkah. Re berbalik ke arahku setelah menghentikan putaran ban kursi roda Lang.
"Aku yang membuat Lang seperti ini. Memaksanya untuk menjemputku hingga kecelakaan angkot yang ditumpanginya mematahkan tulang kakinya. Aku bukan hanya ingin membuktikan cintaku pada Lang, tapi juga tanggung jawabku. Kamu mengerti, kan? Aku dan Lang tedahir sama, tak punya apa-apa. Mungkin itu bisa membuat kami bisa tetap bersama."
Bisu sedan menit. Saat kudengar ban kursi roda itu berputar dan pergi dariku. Kupaksa untuk tetap berdiri tanpa menatapnya.
"Memang kita berbeda, Mey!" Lang berucap lagi.
Aku tetap membisu. Akulah yang pertama membuat perbedaan itu. Kusesali!
No comments:
Post a Comment