KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah peyusun sampaikan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat hidayah serta inayahnya kepad kita semua sholawat serta salam senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Berkat rahmat serta inayahnya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang judulnya “ LARANGAN NIKAH MUT’AH” untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “ Hadis II” dalam pembuatan makalah ini penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Ibu Siti Zolehah Zen, Drs. Selaku dosen kami atau pembimbing dalam mata kuliah “Hadis II”.
Semoga pembimbing mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Dengan akhirnya makalah ini kritik dan saran sangat penyusun harapkan dari pembaca terutama dari dosen mata kuliah karena untuk menyempurnakan makalah yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Indramayu, November 2005
PENDAHULUAN
Salah satu persoalan yang marak di bicarakan bagi kalangan sejak dulu hingga kini adalah nikah mut’ah. Ada yang menyatakan halal dan ada juga yang haram yang membolehkan hanya dalam keadaan mendesak atau darurat. Salah satu kesalahpahaman karena adanya praktek-praktek perzinaan yang di namakan nikah mut’ah.
Mut’ah mempunyai sekian arti antara lain : mampaat, bersenang-senang, menikmati, bekal dan lain-lain. Pakar-pakar islam baik dari kalangan sunnah maupun syiah bahkan Nabi SAW dan sahabat-sahabat beliau mengenal dua macam nikah mut’ah. Yang pertama mut’ah haji dan kedua nikah mut’ah yakni pernikahan dengan menetapkan batas waktu.
NIKAH MUT’AH
A. Hadist
“Hadis Ali Bin Abi Thalib ra. Bahwasannya Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah pada hari (perang) khaibar dan juga (melarang) makan daging keledai peliharaan” ( Hadis Riwayat Bukhori ).
“Hai sekalian manusia sesungguhnya saya pernah mengizinkan kalian untuk nikah mut’ah ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”.
B. Dasar Tasry
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya maka berilah kamu mut’ah dan lepaskan mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya “( QS. Al-Ahzab : 49 )
C. Uraian ( Penjelasan )
Mut’ah adalah pernikahan yang menetapkan batas waktu tertentu berdasarkan kesepakatan antara calon suami dan istri. Bila beliau masa yang di sepakati habis maka keduanya dapat memperpanjang atau mengakhiri pernikahan mereka sesuai kesepakatan semula. Ulama-ulama tafsir kelompok sunni menyatakan bahwa Allah SWT hanya membenarkan dua cara, cara untuk penyaluran nafsu seksual yaitu mulai pasangan-pasangan yang di nikahi tanpa batas waktu dan melalui kepemilikan budak perempuan. Dengan demikian tidak ada cara melalui nikah mut’ah karena perempuan yang di nikahi secara mut’ah di namai istri bukan juga termasuk budak perempuan yang dimiliki. Dan ulama sunnah Azzamakhsyari pakar tafsir yang beraliran Rasional dan Sunni menyatakan “ perempuan yang di nikahi secara mut’ah adalah istri yang sah, mereka juga dinamai pasangan-pasangan bahkan mereka pun mempunyai hak karena nikah mut’ah dibenarkan oleh Rasulullah SAW dan di praktekan oleh sahabat beliau dan di praktekan pada masa khalifah Abu Bakar ra. Dan Umar Ibnu Al-Khattab.
Pada masa inilah nikah mut’ah di dasari dengan syarat-syarat tertentu yang membedakan dengan perzinaan berdasarkan aneka riwayat datang pengharaman dengan demikian tidak di benarkan segala macam hubungan seks kecuali melalui pernikahan yang bertujuan langgeng. Pernikahan ini pada mulanya tidak di batasi jumlahnya sampai dengan turunnya izin berpoligami yang tidak boleh lebih dari empat orang wanita.
Riwayat tentang pelanggaran mut’ah itu berbeda-beda menyangkut masa dan siapa pembatalannya. Sahabat Nabi SAW Jabir Ibnu Abdillah Al-Anshari ra bahwa :
“Kami telah melakukan mut’ah pada masa Rasulullah SAW juga masa Abu Bakar dan Umar Ra” (HR. MUSLIM)
Di tempat lain meriwayatkan bahwa Jabir menguraikan pendapat Ibnu Abas dan Ibnu Az-Zubair Jabir berkata “ kami melakukan keduanya ( mut’ah haji dan nikah mut’ah ) pada masa Nabi SAW, lalu Umar melarang keduanya maka kami tidak lagi mengerjakannya, dan juga yang membatalkannya Rasulullah sendiri yaitu pada perang khaibar atau perang hunain kemidian di bolehkan lagi pada hari Fathul Mekkah, yakni pada hari Rasul SAW dan sahabat-sahabat beliau mengusai dan memasuki kembali kota Mekkah tapi kemudian beliau melarangnya pada hari ketiga Fathul Mekkah. Riwayat lain lebih kuat mengatakan bahwa nikah mut’ah di larang secara mutlak pada haji wada.
KESIMPULAN
Mut’ah diizinkan oleh Rasul SAW dua kali dan melarangnya dua kali, menurut Ibnu Asyur bukan pembatalan tetapi penyesuaian kondisi kebutuhan yang mendesak atau darurat seperti berpergian jauh atau perang bagi yang tidak membawa istri.
DAFTAR PUSTAKA
AL-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 45
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Walmarjan, Al-Raidha, Semarang,
Th. 1993
Qurais Shihab, Prof. Dr. Perempuan , Jakarta, Lentera Hati. Th. 2000.
No comments:
Post a Comment