Wednesday, 14 March 2012

MAKALAH PPPD


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Pendidikan bertujuan bukan hanya membentuk manusia yang cerdas otaknya dan trampil dalam melaksanakan tugas, namun diharapkan menghasilkan manusia yang memiliki moral, sehingga menghasilkan warga negara excellent. Oleh karena itu pendidikan tidak semata-mata mentrasfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi juga mentransfer nilai-nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Dengan transfer moral bersifat universal, diharapkan peserta didik dapat menghargai kehidupan orang lain tercermin dalam tingkah laku serta aktualisasi diri, semenjak usia SD hingga kelak dewasa menjadi warga negara yang baik (good citizen).
Dalam kenyataannya manusia Indonesia (khususnya anak-anak remaja) di saat ini, kurang memperhatikan moral yang tercermin dari perilaku tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan seperti terjadi tawuran remaja, kurang menghormati orang tua, kurang mentaati norma-norma keluarga, hidup tidak disiplin. Terlebih pada masa globalisasi manusia Indonesia cenderung berperilaku keras, cepat, akseleratif dalam menyelesaikan sesuatu, dan budaya instan. Manusia dipaksa hidup seperti robot, selalu berada pada persaingan tinggi (konflik) dengan sesamanya, hidup bagaikan roda berputar cepat, yang membuat manusia mengalami disorientasi meninggalkan norma-norma universal, menggunakan konsep Machiavelli (menghalalkan segala cara), mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki moral yang baik, tidak menghargai, peduli, mengasihi dan mencitai sesamanya (Haedar Nashir, 2007:1).
Kebobrokan moral bangsa diawali oleh pemimpin-pemimpinnya sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Sahetape, SH., guru besar emeritus Universitas Erlangga. Surabaya yang mengatakan bahwa "pembusukan bangsa ini bagaikan ikan yang rusak berawal dari kepalanya. Para pemimpin negara pada hakekatnya tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, melayani masyarakat sebaik-baiknya, namun justru haus kekuasaan dan haus materi untuk memuaskan diri.
Dengan diberikannya pendidikan moral bagi anak SD diharapkan dapat merubah perilaku anak, sehingga peserta didik jika sudah dewasa lebih bertanggung jawab dan menghargai sesamanya dan mampu menghadapi tatangan jaman yang cepat berubah. Disinilah pentingnya nilai-nilai moral yang berfungsi sebagai media transformasi manusia Indonesia agar lebih baik, memiliki keunggulan dan kecerdasan di berbagai bidang; baik kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, kecerdasan logis, musikal, lenguistik, kecerdasan spesial.
Peran orang tua (guru) hanya sebatas memberi hal terbaik sesuai dengan jiwa jaman yang sedang dihadapi saat ini, agar kelak peserta didik (anak-anak SD), bagaikan anak panah lepas dari busurnya menentang, mengatasi permasalahannya sendiri, namun memiliki keunggulan moral yang baik dan luhur.
Perkembangan moral adalah salah satu masalah klasikal yang menarik minat mereka yang ingin tahu mengenai sifat dasar manusia. Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat mengenai tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat di terima, tingkah laku etis dan tidak etis, dan cara-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku yang dapat diterima dan etis kepada remaja. Hal penting lain dari teori perkembangan moral ) adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral sesorang, akan semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya.
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral, “agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya”.) Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bias memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya. Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada diawan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah Perkembangan moral di kalangan peserta didik ?
2.      Faktor yang mempengaruhi perkembangan moral pada peserta didik ?
3.      Bagaimanakah perkembangan spiritual peserta didik ?

C.    Tujuan
Dengan adanya benih nilai – nilai moral yang di semaikan dalam keluarga, diajarkan di sekolah oleh guru dan masyarakat diharapkan setiap personal dapat mempraktikan nilai moral dalam totalitas kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Modal nilao moral yang sudah ada dalam personal merupakan lahan yang subur bagi anak anak-anak SD untuk mewujudkan kehidupan bersam dalam mewujudkan masyarakat yang ideal.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Moral
Moral berasal dari bahasa latin mores, yang artinya adat istiadat, kebiasaan atau cara hidup. Kata mores mempunyai sinonim mas, moris, manner mores atau manners, morals. Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib hati nurani yang membimbing tingkahlaku batin dalam hidup. Kata moral sama dengan istilah etika yang berasal dari bahasa Yunani ethos, yaitu suatu kebiasaan adat istiadat. Secara etimologis etika adalah ajaran tentang baik dan buruk, yang diterima umum tentang sikap dan perbuatan. Pada hakekatnya moral adalah ukuran-ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sedang etika lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan pada suatu profesi (Budi Istanto, 2007; 4). Namun ada pengertian lain etika mempelajari kebiasaan manusia yang telah disepakati bersama seperti; cara berpakaian, tatakrama.
Dengan demikian keduanya mempunyai pengertian yang sarna yaitu kebiasaan yang harus dipatuhi (Hendrowibowo, 2007: 84). Moral yaitu suatu ajaran-ajaran atau wejangan, patokan-patokan atau kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sedang pengertian etika adalah suatu pemikiran kritis tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral. Etika mempunyai pengertian ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas (Kaelan, 2002001: 180).
Moral selalu mengacu pada baik buruk manusia, sehingga moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari kebaikan manusia. Norma moral dipakai sebagai tolok ukur segi kebaikan manusia. Menurut Magnis Suseno yang dikutip Hendrowibowo; moral adalah sikap hati yang terungkap dalam sikap lahiriah. Moralitas terjadi jika seseorang mengambil sikap yang baik, karena ia sadar akan tanggungjawabnya sebagai manusia. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik sesuai dengan nurani (Hendrowibowo, 2007: 85).
B.     Perkembangan Moral Pada Peserta Didik
Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan  oralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, diantaranya :
1.      Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain.
Larangan berbuat maksiat kepada Allah SWT, baik yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain seperti : mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi dan lai-lain.
2.      Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai peserta didik adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
3.      Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Teori Psikoanalisis tentang perkembangan moral membagi struktur kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan superego.
Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari.
Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas.

Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek social yang berisikan system nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan "benar" atau "salahnya" sesuatu.
Berikut ini beberapa proses pembentukan prilaku moral anak :
1.      Imitasi (Imitation)
Dalam tulisan ini imitasi berarti peniruan sikap, cara pandang serta tingkah laku orang lain yang dilakukan dengan sengaja oleh anak. Pada umumnya anak mulai mengadakan imitasi sejak usia 3 tahun, yaitu meniru prilaku orang lain yang ada disekitarnya. Anak perempuan meniru tingkah laku ibu, kakak perempuan dan orang yang ada di sekitar rumah. Demikian pula dengan anak laki-laki meniru tingkah laku ayahnya, kakak atau tetangganya yang sering dijumpai disekitar rumahnya. Sering kali anak tidak hanya meniru prilaku misalnya gerak tubuh, rasa senang atau tidak senang.
Pada umumnya anak suka menirukan segala sesuatu yang dilakukan oleh orang tuanya, jadi bukan hanya yang diucapkan atau dikatakan, melainkan perbuatan orang tuanya, seperti saat ayahnya sedang marah terhadap kakaknya dengan membanting pintu, anak juga akan menirukan perbuatan itu.
2.      Internalisasi
Internalisasi adalah suatu proses yang merasuk pada diri seseorang (anak) karena pengaruh sosial yang paling mendalam dan paling langgengdalam kehidupan orang tersebut. Begitu nilai, norma atau sikap tersebut terinternalisasi pada diri anak sukar dirubah dan menetap dalam waktu yang cukup lama. Misalnya seorang anak perempuan menilai bahwa memakai kerudung itu baik dan benar maka anak tersebut akan terus mamakai kerudung.
3.      Introvert dan Ekstrovert
Introvert adalah kecenderungan seseorang untuk menarik diri dari lingkungan sosialnya, minat, sikap atau keputusan-keputusan yang diambil selalu berdasarkan perasaan, pemikiran dan pengalamannya sendiri. Orang yang yang berkencenderungan introvert  biasanya bersifat pendiam, dan kurang bergaul seakan-akan tidak memerlukan bantuan dari orang lain.
Ekstrovert adalah kecenderungan seseorang untuk mengarahkan perhatian keluar dirinya, sehingga segala minat, sikap dan keputusan-keputusan yang diambil lebih banyak ditentukan oleh orang lain. Orang yang yang berkencenderungan ekstrovert biasanya mudah bergaul, ramah, aktif, banyak berinisiatif.
4.      Kemandirian
Dalam pengertian umum kemandirian adalah kemampuan seseorang untuk berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain baik dalam bentuk material maupun moral. Sedangkan pada anak, pengertian kemandirian sering kali dikaitkan dengan kemampuan anak untuk melakukan segala sesuatu berdasarkan kekuatan sendiri tanpa bantuan orang dewasa.
5.      Ketergantungan
Anak-anak pada usia 6 - 12 tahun karena kebutuhan hidupnya sangat bergantung kepada orang tua, terutama yang masih ada hubungan keluarga, misalnya kakak kandung atau orang yang tinggal satu rumah. Akan tetapi ketergantungan itu akan mulai berkurang seiiring dengan bertambahnya usia dan perkembangan jasmani dan rohaninya.
6.      Bakat
Bakat merupakan potensi diri yang ada dalam diri seseorang, dengan adanya rangsangan tertentu memungkinkan orang tersebut dapat mencapai sesuatu dengan tingkat kecakapan, pengetahuan, dan ketrampilan yang dimilikinya.
Menurut ilmu pengetahuan terdapat dua jenis bakat yang dimiliki dan dapat dikembangkan :
a.       Bakat yang berkaitan dengan kemahiran atau kemampuan mengenai suatu bidang.
b.      Bakat yang diperlukan untuk berhasil dalam tipe pendidikan.


C.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Moral :
Yang dapat mempengaruhi perkembangan moral peserta didik adalah lingkungan, seperti lingkungan keluarga,teman sebaya, sekolah dan guru.
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut :
1.      Tingkat Pra Konvensional
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
Tahap 1   :   Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.
Tahap 2   :   Orientasi Relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.
2.      Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :
Tahap 1   :   Orientasi kesepakatan antara pribadi atau yang disebut dengan
orientasi “anak manis” Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
Tahap 2   :   Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
3.      Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom/Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:
Tahap 1   :   Orientasi kontrak sosial Legalitas
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.
Tahap 2   :   Orientasi Prinsip Etika Universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.

D.    Perkembangan Spiritual Pada Peserta Didik
Latar belakang kehidupan keagamaan remaja dan ajaran agamanya berkenaan dengan hakekat dan nasib manusia, memainkan peranan penting dalam menentukan konsepsinya tentang apa dan siapa dia, dan akan menjadi apa dia. Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terdiri atas suatu sistem tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan praktek-praktek yang kita anut, pada umumnya berpusat sekitar pemujaan.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut pandangan sosial, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya. Bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
Penemuan lain menunjukkan, bahwa sekalipun pada masa remaja banyak mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka, namun pada akhirnya kembali lagi kepada kepercayaan tersebut. Banyak orang pada usia dua puluhan dan awal tiga puluhan, tatkala mereka sudah menjadi orang tua, kembali melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka abaikan.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini. Dalam suatu studi tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal, operational, religious thought, di mana remaja memperlihatkann pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotesis. Perubahan perkembangan yang sama, pada anak-anak dan remaja.
Bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan pengharapan konsep-konsep abstrak ketika membuat pertimbangan tentang agama. Apa yang dikemukakan tentang perkembangan dalam masa remaja ini hanya merupakan ciri-ciri pokoknya saja.
Pandangan lain dalam perkembangan konsep religius. Indiduating-reflexive faith adalah tahap yang dikemukakan Fawler, muncul pada masa remaja akhir yang merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas keagamaan. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, individu memiliki tanggung jawab penuh atas keyakinan religius mereka. Sebelumnya mereka mengandalkan semuanya pada keyakinan orang tuanya.
Salah satu area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual. Walaupun keanakaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak mendukung seks pranikah.
Oleh karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks. Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama. Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual disamping emosional dan volisional (konatif) mengalami perkembangan.
(Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam dua tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
1)      Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
a)      Sikap negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
b)      Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
c) Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
2)      Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikut ini:
a)      Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
b)      Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
c)      Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi, ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran yang baik dari yang tidak baik. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan hidup didunia ini.
Banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosial dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.






BAB IV
PENUTUP

1.      Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan.
2.      Lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan remaja yaitu :
a)      Pandangan moral individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.
b)      Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
c)      Penilaian moral menjadi semakin kognitif.
d)     Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
e)      Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.
3.      Tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut :
a)      Tingkat Pra Konvensional
b)      Tingkat Konvensional
c)      Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)
Perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam dua tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda, yatu :
a.       Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
Sikap negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
b.      Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikut ini:
Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi, ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran yang baik dari yang tidak baik. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan hidup didunia ini.







DAFTAR PUSTAKA




No comments:

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda! Jangan Lupa Untuk Meninggalkan Komentar!.