Alhamdulillahirobbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Robb Semesta Alam. Sholawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan Makalah Metode Pendidikan Tasawuf.
Dalam kesempatan ini, penyusun mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan Makalah Metode Pendidikan Tasawuf ini, sehingga bisa kami suguhkan kepada kalayak umum.
Akhir kata, semoga Makalah Metode Pendidikan Tasawuf ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca umumnya, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan bagi semua pihak yang telah penyusun sebutkan. Amin.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Kecanggihan material sebagai hasil dari kemajuan ilmu dan teknologi modern dewasa ini telah mempermudah hidup dan kehidupan. Banyak kesenangan dan fasilitas hidup dan kehidupan dapat dinikmati dengan bertambahnya setiap penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi. Kita semua dapat menyaksikan, melihat dan merasakan sendiri secara langsung kemajuan-kemajuan dan kemudahan tersebut umpama pada sarana pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti alat transportasi dan komunikasi, tempat dan sarana hiburan dan lain sebagainya. Dengan demikian hidup terasa bertambah mudah, enak dan nyaman.
Tetapi kenyataannya bukanlah sebuah garis lurus. Kemudahan, kesenangan dan kenyamanan lahiriah yang diberikan oleh ilmu dan teknologi tidk selalu membahagiakan umat manusia, malah ada yang memandangnya sebagai pembawa banyak bencana daripada rahmat.
Perlu dicatat, menurut pengamatan Harun Nasution, direktur Program Pasca Sarjana IAIN Sayid Jakartam yang beliau sampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan Yaysan Wakaf Paramadina di Jakarta, bahwa akhir-akhir ini kelihatan gejala-gejala di barat bosan dengan hidup kematerian dan mencari hidup kerohanian dengan agama Budha, ada kerohanian dalam agama Hindu dan kristen, tak sedikit pula yang mengikuti kerohanian ke agama Islam. Dalam menghadapi materialisme yang melanda dunia sekarang, kata beliau selanjutnya, perlu dihidupkan kembali spiritulisme. Disini tasawuf dengna ajaran kerohanian dan akhlak meulianya dapat memainkan peranan penting.
Tasawuf, kata Abu Al-Wafa’ Al-Taftazani, tidak berarti suatu tindak pelarian diri dari kenyataan hidup sebagaimana telah dituduhkan mereka yang anti, tetapi ia adalah usaha mempersenjatai diri (manusia) dengan nilai-nilai kerohanian baru yang akan menegakkannya saat menghadapi kehidupan materialisme dan juga untuk merealisasikan kesinambungan jiwanya, sehingga timbul kemampuannya ketika menghadapi berbagai keseulitan ataupun masalah hidupnya.
B. Tasawuf Dan Kehidupan Rohani
Di atas telah diuraikan tentang adanya tendensi masyarakat modern untuk mencari nilai-nilai ilahiyah rohaniyah yang sekian lama dikesampingkan sebagai akibat dari perkembangan ilmu dan teknologi.
Kehidupan dewasa ini telah berkembang menjadi demikian materialistis. Materi menjaditolok ukur segala hal, kesuksesan, kebahagiaan semuanya ditentukan oleh materi. Orang berlomba-lomba mendapatkan materi sebanyak-banyaknya, karena dengan semuanya manusia merasa dirinya sukses.
Akibatnya, manusia sering bertindak tanpa kontrol demi materi. Semakin terlihat kecenderungan manusia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Nilai-nilai kemanusiaan semakin surut, toleransi sosial dan solidaritas sesama serta ukhuwah Islamiah (di kalangan umat Islam) nampak hilang dan memudar, manusia cenderung semakin individualis. Di tengah suasana itu, manusia merasakan kerinduan akan nilai-nilai ke-Tuhanan, nilai-nilai Illahiah. Nilai-nilai berisi ke-Tuhanan inilah yang dapat menuntun manusia kembali kepada nilai-nilai kebaikan yang pada dasarnya fitrah (sifat dasar) manusia.
Adanya kecenderungan manusia untuk kembali mencari nilai Illahiah merupakan bukti bahwa manusia itu pada dasarnya makhluk rohani di samping sebagai makhluk jasmani. Sebagai makhluk jasmani, manusia membutuhkan hal-hal yang bersifat materi, namun sebagai makhluk rohani ia membutuhkan hal-hal yang bersifat immateri atau rohani. Sesuai dengan orientasi ajaran tasawuf adalah fitrah manusia.
Menurut ajaran kaum sufi, selama manusia belum bisa keluar dari kungkungan jasmani/materi selama itu pula dia tidak akan menemukan nilai-nilai rohani yang dia dambakan. Untuk itu dia harus berusaha melepaskan rohnya dari kungkungan jasmaninya. Untuk itu harus ditempuh dengan jalan riyadah (latihan) yang memakan waktu cukup lama.
Berdasarkan uraian di atas banyak menekankan pada ajaran tasawuf, yang dapat membimbing manusia kembali ke jalan benar. Sementara itu dalam bertasawuf ada tata cara dan aturannya. Memasuki duni atasawuf tidak semudah membalikkan terlapak tangan, karena tasawuf memiliki metode pendidikan tasawuf. Maka dari itu, dlam makalah ini penyusun ingin menyampaikan tentang metode pendidikan tasawuf tersebut. Maka penyusun mengambil judul “METODE PENDIDIKAN TASAWUF”.
BAB II
PENJABARAN TENTANG
METODE PENDIDIKAN TASAWUF
A. Hawa Nafsu dalam Pandangan Kaum Sufi
Sebelum memasuki metode pendidikan tasawuf, alangkah baiknya kalau kita memahami terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan hawa nafsu? Bagaimanakan hawa nafsu dalam pemandangan kaum sufi? Bagaimana hubungan hawa nafsu dengan metode pendidikan tasawuf?
Walaupun pada bab I Pendahuluan dalam pengantar dan juga tasawuf dan kehidupan rohani, penyusun sekilas telah menyinggung tentang hawa nafsu tetapi untuk pengertiannya belum dijelaskan, maka penyusun menjabarkanhawa nafsu pada bab II ini, sekaligus juga untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hawa nafsu yang ada.
Demikian adanya tujuan Bab I Pendahuluan tentang pengantar serta tasawuf dan kehidupan rohani yang ingin penyusun sampaikan dengan maksud saat kita memasuki metode pendidikan tasawuf, sekilas kita sudah memahaminya karena pada hakekatnya hawa nafsu dan metode pendidikan tasawuf memiliki hubungan dan adanya saling keterkaitan, adanya metode pendidikan tasawuf itu dikarenakan adanya hawa nafsu.
Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu. Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan manusia yang mengendalikan hawa nafsunya. Ia cenderung ingin menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia. Cara hidup seperti ini menurut Al-Ghazali, akan membawa manusia ke jurang kehancuran moral. Sebab sadar atau tidak sadar, lambat atau cepat, manusia akan terbawa kepada pemujaan dunia. Kenikmatan hidup di dunia akan menjadi tujuan utama, bukan sebagai jembatan atau sarana untuk menuju kebahagiaan dan kenikmatan yang hakiki.
Pandangan hidup seperti itu menjurus ke arah pertentangan manusia dengan sesanya, sehingga ia lupa akan wujud dirinya sebagai hamba Allah SWt yang harus berjalan di atas aturan-Nya. Karena sebagian besar waktu dihabiskan untuk persoalan-persoalan duniawi, ingatan dan perhatiannya pun jauh dari Tuhan. Itu semua, kara Al-Ghazali disebabkan oleh tidak terkontrolnya hawa nafsu.
Sebenarnya manusia tidak boleh mematikan sama sekali nafsunya, tetapi ia harus menguasainya agar hawa nafsu itu tidak sampai membawa kesesatan. Nafsu adalah salah satu potensi yang diciptakan Tuhan di dalam diri manusia agar ia dapat hidup lebih maju, penuh kreatifitas, dan bersemangat. Jika manusia tidak mempunyai nafsu, tidak akan ada kemajuan dalam kehidupan mereka. Tidak ada kompetensi di antara mereka untuk memenuhi tuntutan hidup yang selalu berkembang setiap saat.
Memang hawa nafsu manusia, sebagaimana diterangkan al-qur’an , mempunyai kecenderungan untuk baik dan buruk, “Nafsu akan menjadi baik jika ia dibersihkan dari pengaruh-pengaruh jahat dengan menanamkan ajaran-ajaran agama sejak dini sehingga tabiat nafsu yang jahat itu dapat dikendalikan nafsunya, dikatakan Allah, sebagai orang yang menuhankan hawa nafsu”, (QS. 45 : 23), dan menyimpang dari kebenaran (QS. 45 : 135)
B. Metode Pendidikan Tasawuf
Rehabilitas kondisi mental yang tidak baik, menurut orang sufi, tidak akan berhasil baik apabila terapinya hanya dari aspek lahiriah. Itulah sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang murid diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu dalam rangka pembersihan jiwa untuk dapat berada di hadirat Allah SWT. Tindakan manusia yang dikendalikan oleh hawa nafsu dalam mengejar kehidupan duniawi merupakan tabir penghalang antara manusia dengan Tuhan. Sebagai usaha menyingkap tabir yang mematasi manusia dengna Tuhan, ahli tasawuf membuat suatu sistem (metode pendidikan tasawuf) yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat yang dinamakan “takhalli”,”Tahalli”, dan “Tajalli”, yang masing-masing akan diuraikan sebagai berikut :
TAKHALLI
Takhalli, berarti memberihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksud lahir dan bathin. Diantara sifat-sifat tercela dan maksiat lahir dan bathin. Diantara sifat-sifat tercela yang mengotori jiwa (hati) manusia ialah hasad (dengki), hiqd (rasa mendongkol), Su’u al-zann (buruk sangka), takkabur (sombong), ‘Ujub (membanggakan diri), riya’ (pamer), bukhl (kikir), dan gadab (pemarah). Dalam firman Allah SWT,”Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang-orang yang mengotorinya (QS. 91 : 9 – 10).
Dalam hal menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi serta mematikan hawa nafsu, kaum sufi berbeda pendapat kelompok sufi yang moderat berpendapat, aras kebencian terhadap kehidupan duniawi cukuplah sekedar jangan sampai lupa kepada tujuan hidup, tidak perlu meninggalkannya sama sekali. Demikian pula dengan penguburan hawa nafsu, cukup dengna sekedar dikuasai melalui pengaturan disipliin kehidupan. Golongan ini tetap memanfaatkan dunia sekedar kebutuhannya dengan mengatur dan mengontrol dorongan hawa nafsu yang dapat mengganggu stabilitas akal dan perasaan. Dengan pola hidup serasi dan seimbang, sufi kelompok ini merasa menemukan kebebasan menempatkan Allah SWT sebagai inti dari segala citanya. Kehidupannya terarah kepada pengabdian dan selalu berpegang pada garis kebijaksanaan yang relevan dengan tujuan hidupnya.
Kelompok sufi yang ekstrem berkeyakinan, kehidupan duniawi benar-benar sebagai racun pembunuh “Kelangsungan cita-cita sufi. Dunia adalah penghalang perjalanan. Karena itu, nafsu duniawi harus “dimatikan” dari diri manusiaagar ia bebas berjalan menuju tujuan, mencapai kenikmatan spiritual yang hakiki. Bagi mereka, memperoleh keridhoan Tuhan tidak sama dengna kenikmatan-kenikmatan material. Pengingkaran pada ego dengan meresepkan diri pada kemauan Tuhan adalah perbuatan utama. Dengan demikian, nilai moral benar-benar agamis karena setiap tindakan disejajarkan dengan ibarat yang lahir dari motivasi eskatologi.
Menurut orang sufi, kemaksiatan dibagi menjadi dua yaitu maksiat lahir dan batin. Maksiat lahir adalah sifat tercela yang diajarkan oleh anggota lahir seperti tangan, mulut dan mata. Maksiat batin adalah segala sifat tercela yang diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati contoh maksiat lahir diantaranya mencuri, mencopet, membunuh, dan sebagainya.
Maksiat batin yang terdapat pada manusia tentulah lebih berbahaya lagi, karena ia tidak kelihatan seperti maksiat lahir, dan kadang-kadang kurang disadari. Selanjutnya, maksiat batin itu secara tidak langsung menciptakan manusia yang tidak bermoral, jahat dan ingkar kepada Tuhannya. Karena itu, kedua maksiat tersebut harus dibersihkan lebih dahulu, yaitu melepaskan diri dari sifat-sifat tercela agar dapat mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji untuk memperoleh kebahagiaan hakiki.
TAHALLI
Tahalli yakni mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan taat lahir dan batin. Dalam hal ini Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah SWT melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. 16 : 90)
Tahalli ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap tahalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang yang tidak baik dapat dilalui (takhalli), usaha itu harus berlanjut terus ke tahap berikutnya yaitu yang disebut dengan tahalli. Sebab apabila suatu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi.
Apabila manusia dapat mengisi hatinya (setelah dibersihkan dari sifat-sifat tercela) dengan sifat-sifat terpuji, maka ia akan menjadi cerah dan terang, sehingga dapat lagi menerima cahaya Illahi. Jadi hati yang belum dibersihkan tidak akan mendapatkan atau tidak dapat menerima cahaya Illahi.
Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat tercela (takhalli) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (Tahlli), maka segala perbuatannya dan tindakannya sehari-hari selalu berdasarkan niat yang ikhlas artinya tanpa mengaharapkan suatu balasan atau embel-embel lain seperti kata pribahasa : “Ada udang dibalik batu” seluruh hidup dan gerak kehidupannya diikhlaskan untuk mencari kerelaan Allah SWT semata. Karena itulah manusia yang seperti ini dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya.
TAJALLI
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan mental itu disempurnakan pada fase tajalli. Tajalli berarti terungkapnya nur gaib untuk hati. Dalam hal ini kaum sufi mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT : “ Allah adalah nur (cahaya) langit dan bumi”. (QS. 24 : 35), selanjutnya mustafa zahri dalam bukunya kunci memahami tasawuf merumuskan arti tajalli sebagai berikut : “Tajalli ialah lenyapnya/hilangnya dari hijab dari sifat-sifat kebasyaiahan (kemanusiaan), jelasnya nur yang selama itu gaib, fanahnya lenyapnya segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah SWT. Berdasarkan ayat tersebut di atas, kaum sufi yakin bahwa seseorang dapat memperoleh pancaran nur Illahi”.
Karena itulah setiap calon sufi mengadakan latihan-latihan jiwa (riyadah), berusaha membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela, mengosongkan hati dari sifat-sifat yang keji, melepaskan segala sangkut paut dengan dunia, lalu mengisi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, segala tindakannya selalu dalam rangka ibadah, memperbanyak zikir, menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri, baik lahir maupun batin. Seluruh jiwa (hati) hanya semata-mata untuk memperoleh tajalli, untuk menerima pancaran nur Illahi. Apabila Tuhan telah menembus hati hamba-Nya dengan Nur-Nya. Pada tingkat ini hati hamba Allah SWT itu bercahaya terang benderang, dadanya terbuka luas dan lapang, terangkatlah tabir rahasia alam malakut dengan karunia rahmat itu. Pada saat itu jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama ini terdinding oleh kekotoran jiwanya.
Apabila jiwa telah terisi dengan sifat-sifat terpuji dan mulia dan organ-organ tubuh sudah terbisa melakuan amalan-amalan Shaleh dan perbuatan-perbuatan luhur, maka untuk selanjutnya agar hasil yang diperoleh itu tidak berkurang, perlu penghayatan rasa keTuhanan. Untuk melestarikan dan memperdalam rasa keTuhanan, ada beberapa cara yang diajarkan kaum sufi, antara lain adalah :
a. Munajat
Secara sederhana kata ini mengandung arti melaporkan diri kehadirat Allh SWT atas segala aktivitas yang dilakukan. Munajat biasanya dilakukan dalam suasana keheningan malam sesuai shalat tahajud, agar ekspresinya tertuju bulat ke hadirat Illahi. Pemusatan jiwa dengan sebulat hati yang diiringi derai air mata, membuat suasana kontemplasi itu seakan ia sedang berhadapan langsung dengan Allah SWT.
b. Muraqabah dan Muhasabah
Menurut Imam Al-Qozali, perkataan muraqabah sama artinya dengan ihsan. Dan menurut Abu Zakaria Ansari, kata muraqabah jika dilihat dari segi bahasanya (etimologi) dapat diartikan dengan selalu memperhatikan yang diperhatikan, sedangkan menurut istilahnya (terminologi), dikatakan : “Senatiasa memandang dengan hati kepada Allah dan selalu memperhatikan apa yang diciptakan-Nya dan tentang hukum-hukum-Nya”. Jadi, sesuai dengan pengertian ini bahwa muraqabah itu merupakan suatu sikap mental yang senantiasa melihat dan memandang, baik dalam keadaan bangun/jaga atau tidur, baik dalam keadaan bergerak atau diam dalam waktu lapang atau susah.
Kemudian yang dimaksud dengan musagabah, imam Al- Gozali mengatakan : “Hakikat musagabah ialah selalu memikirkan dan memperhatikan apa yang telah diperbuat dan yang akan diperbuat, dan musagabah ini lahir dari iman dan kepercayaan terhadap hari hitungan (hari kiamat)”.
c. Memperbanyak Wirid dan Zikir
Memperbanyak wirid dan zikir merupakan suatu keharusan bagi seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT dan ini merupakan ciri khas dari kehidupan kaum sufi.
Wirid (bentuk jamaknya : awarad) berarti bacaan-bacaan zikir, doa-doa atau amalan-amalan lain yang dibiasakan membacanya atau mengamalkannya. Biasanya wirid itu dilakukan setelah shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunah. Dalam prakteknya wirid dibagi menjadi dua bagian. Pertama wirid ‘amma/zikir jahri yaitu wirid dalam formula eksotrik atau dalam bentuk amal lahir menurut beberapa ukuran tertentu seperti membaca istigfar beberapa ratus kali dan beberapa kali dalam satu hari, dilakukan setelah shalat subuh dan magrib sebagaimana dikalangan kaum Alawiah. Kedua wirid khas atau zikir sirr, yaitu wirid yang dijalankan secara rahasia (tanpa suara) seperti menyebut nama Tuhan, Ya latif dengan hati dikalangan-kalangan kaum Sanusiah.
Kemudian yang dimaksud dengan zikir ialah ucapan yang dilakukan dengan lisan atau mengingat Allah dengan hati, dengan ucapan atau ingatan untuk mensucikan Tuhan dan membersihkan-Nya dari sifat-sifat yang menunjukan kebesaran dan keagungan-Nya.
1. Zikir lisan, atau disebut juga zikir nafi isbat atau ucapan lailaha illah’llah (tiada Tuhan selain Allah)
2. Zikir Gaib, disebut juga zikir, yaitu ucapan Allah, Allah
3. Zikir sirr disebut jugua zikir isyarat dan nafs artinya yaitu berbunyi Hu-Hu
Zikir memang penting bagi manusia sepanjang hidupnya karena manusia dalam hidup ini tidak terleps dari empat keadaan pertama, dalam keadaan taat apabila ia selalu ingat kepada Allah SWT pada saat itu, maka akan terlahirlah suatu keyakinan bahwa ketaatan yang diperbuatnya merupakan karunia Allah dan dengan taufik-Nya.
Kedua, dalam keadaan maksiat. Kalu ia dalam keadaan maksiat, maka dengan zikir kepada Allah akan membangkitkan kesadarannya untuk memperbaiki keadaan dirinya dengan bertaubat dan dengan bertaubat ia menjadi manusia yang mencintai Allah dan Allah pun mencintainya. Ketiga, dalam keadaan memperoleh nikmat, kalau ia dalam keadaan memperoleh nikmat maka dengan zikir kepada Allah akan menimbulkan kesadaran untuk mensyukuri nikmat tersebut maka nikmat yang didapatnya akan tetap dan bertambah. Dan keempat, dalam keadaan menderita, jika ia ingat kepada Allah/zikir kepada Allah timbullah keyakinan bahwa penderitaan pada hakikatnya cobaan baginya dan ia harus menghadapinya dengan sabar.
Disamping itu, zikir memiliki dampak terhadap sifat dan sikap dalam hidup dan kehidupan manusia yaitu :
- Memperlunak hati seseorang sehingga ia cenderung untuk bersedia menerima dan mengikutinya.
- Membangkitkan kesadaran bahwa Allah Maha pengatur dan apa yang ditetapkan-Nya adalah baik, hanya mungkin manusia yang tidak mampu menangkapnya.
- Meningkatkan mutu apa yang dikerjakan, karena Allah tidak menilai sesuatu perbuatan dari segi lahirnya saja, tetapi dia menilainya dari segi motif dan keikhlasannya.
- Memelihara diri dari godaan setan, karena setan hanya dapat menggoda dan menipu orang yang lalai kepada Allah SWT.
- Memeliharanya dari perbuatan kemaksiatan, karena selama ingat kepada Allah SWT ia tidak akan berbuata sesuatu yang dilarang-Nya.
Demikian keagungan dan manfaat zikir bagi manusia. Begiyu banyak ayat, sunnah dan pendapat ulama yang mendorong agar selalu zikir kepada Allh SWT kalangan kaum sufi menaykini bahwa orang yang selalu ingat bkepada Allah, maka Allah akan selalu ingat kepadanya, Allah selalu bersamanya, Allah senantiasa hadir dalam kalbunya.
d. Mengingat Mati
Pada dasarnya manusia diciptakan Tuhan dengan dibekali dua kecenderungan atau sifat, yakni sifat yang membawa kepada kebaikan dan sifat yang membawa kepada kejahatan. Kedua sifat ini tidak dapat dipisahkan dari diri manusia, karena itulah dinamakan sifat manusiawi. Allah SWT berfirman “ Dan (demi) jiwa serta penyempurnaan (ciptaanya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaanya”. (QS. 91:7-8)
Tetapi, tidaklah semua orang mempergunakan kemampuan yang diberikan Tuhan tersebut untuk membersihkan jiwanya, karena itu tidaklah jarang manusia selalu hidup dalam kekotoran jiwanya yakni bergelimang dalam dosa dan tingkah laku yang tercela serta lalai terhadap tugas dan kewajibannya terhadap Allah SWT dan sesamanya.
Oleh karena itu, ingat kepada kematian, kapan dan dimana pun adalah satu hal yang paling penting. Orang sufi berkeyakinan ingat akan akn mati dan hidup kembali diakhirat termasuk rangkaian aktivitas rohani yang perlu dibina. Orang yang selalu ingat mati akan selalu merasa takut. Dan rasa takut itulah yang mendorongnya untuk bertaubat. Karena persiapan untuk menghadapi kematian itu sudah barang tentu dalam bentuk amal sholeh dan doa.
e. Tafakur
Kata tafakur (bahasa arab) berasal dari kata kerja (fi’il) tafakur yang berarti berfikir, memikirkan, merenungkan atau meditasi. Dalam ajaran islam kita hanya disuruh memikirkan dan merenungkan makhlik Allah, alam semesta ini dengan segala fenomenanya, tetapi kita dilarang untuk memikirkan zat Allah. Rosullah SAW bersabda: “berfikirlah mengenai makhluk Allah dan janganlah berfikir tentang zat Allah, karena dapat menyebabkan engkau semua menjadi rusak”. Dalam hadis lain beliau bersabda: “Janganlah merenung tentang hakikat zat Tuhan, tetapi renungkanlah sifat-sifat Tuhan dan rahmatnya”.
Demikianlah fungsi tafakur dalam membentuk dan membina akhlak al-karimah dan dalam meningkatkan ma’rifah serta rasa ketuhanan dalam jiwa. Dengan sifat mulia dan mental yang kuat serta iman dan pendirian yang kukuh, manusia sanggup dan mampu menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dalam hidupnya sehingga ia betul-betul menjadi hamba Allah yang sejati.
BAB III
KESIMPULAN
Tasawuf, sufisme, atau mistisme sering juga dikatakan sebagai kekayaan rohani islam yang masih terpendam. Kini dalam era globalisasi, ia benar-benar amat didambakan dalam upaya memadatkan kualitas iman dan takwa.
Sesuai dengan orientasi hidup sufi, mereka berkeyakinan bahwa kebahagiaan yang paripurna dan langgeng adalah bersifat spiritual. Kaum sufi sependapat bahwa kehidupan duniawi beserta kenikmatannya bukanlah tujuan, tetapi dunia hanya sekedar jembatan. Dalam rangka pendidikan mental, menurut kaum sufi, yang pertama dan utama adalah dengan cara menguasai atau mengendalikan penyebab utama yang dapat menjuruskan manusia ke dalam kehinaan, yaitu bahwa nafsu. Sebab tak terkontrolnya bahwa nafsu dalam mengejar kehidupan material adalah sumber utama dari kerusakan moral dan kehancuran umat manusia. Rasanya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa ajaran tasawuf dalam arti sebenarnya mampu membimbing manusi menjadi hamba Allh SWT yang membawa kedamaian dan mengendalikannya agar tidak menjadi malapetaka bagi dirinya dan alam sekitarnya.
Maka rehabilitasi kondisi mental yang tidak baik, menurut orang sufi,tidak akan bersifat baik apabila terapinya hanya dari aspek lahiriah. Itulah sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang murid diharuskan melakukan amaln dan latihan kerohaian yang cukup berat. Oleh karena itu, ahli tasawuf membuat suatu sistem (Metode Pendidikan Tasawuf) yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat yaitu yang dinamakan Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.
Setelah melalui tiga tingkatan tersebut, untuk melestarikan dan memperdalam rasa ketuhanan, ada beberapa cara yang diajarkan kaum sufi, diantaranya yaitu :
a. Munajat
b. Muraqabah dan munasabah
c. Memperbanyak wirid dan zikir
d. Mengingat mati, dan
e. Tafakur.
Jadi apa yang diajarkan oleh tasawuf tidak lain bagaimana menyembah Tuhan dalam suatu kesadaran penuh bahwa kita berda didekat-Nya sehingga kita “Melihat-Nya” atau bahwa ia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri dihadapan-Nya. Dalam hubungan ini, tasawuf atau sufusme sebagaimana halnya dengan mistisme di luar agama islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan. Intisari dari mistisme, termasuk didalamnya sufisme ialah keasadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplsi.
DAFTAR PUSTAKA
Aboe Bakar Atjeb, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1984.
Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup Iman Al-Gazali, Bulan Bintang, Jakarta 1
_________, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1989.
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984.
Dr. Asmaran As M.A, Pengantar Studi Tasawuf Edisi Revisi, Raja Gravindo Persada. Jakarta. 1994.
Demikian Makalah Metode Pendidikan Tasawuf ini, semoga Makalah Metode Pendidikan Tasawuf ini bermanfaat unt uk semuanya. Terima kasih atas kunjungannya.
No comments:
Post a Comment